Senin, 31 Januari 2011

ASAL USUL BANTENGAN

oleh denmasdjo

1. Sejarah

Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi

1. Berasal dari Batu
2. Berasal dari Cleket (Made) dan berkembang pesat di Pacet

• Berasal dari kota Batu. Menurut catatan yang bersifat dari mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini.
• Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket
Kedua versi itu sulit dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia.
Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.
Menurut cerita Pak Amir (tokoh Bantengan) dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar (mushollah).
Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.
Pemikiran manusia terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni bawah/ tradisional.
Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu akhirnya tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak menarik lagi.
Para pendekar mencari alternatif lain agar kesenian itu diminati lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian Bantengan ini.
Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa pulang.
Kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama sebagai lambang atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. Bantengan berdiri sendiri tanpa pencak silat lagi.
Akhirnya Bantengan ini menjadi cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum pernah ada usaha untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah kebanggaan yang akhirnya bisa menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto.
Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius agar tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa penanganan yang jelas meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran tentang sebuah IKON.

2. Bantengan Masa Sekarang

Group Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang ke daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan menurut berita dari mulut ke mulut ada juga yang masih hidup di daerah Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil Dinoyo. Tetapi yang jalan sampai sekarang hanya Kec. Pacet dan Claket saja. Tak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet. Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan Bantengan ini tetapi ini sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?
Barangkali memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet) masyarakatnya amat mendukung, hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan Claket memang merasa memiliki seni ini turun temurun yang di “leluri” sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta serta penerus sini Bantengan ini.
Akhirnya topeng Bantengan yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng, meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.
Seni Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi seekor banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang (lihat gambar).
Kedua pemain harus kompak bermain. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh, layaknya pemain double dalam bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy Meinaky. Teknik mereka memaunkan Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.
Meskipun sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori menurut pakar Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya : langkah dua ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga gerakan pendekar.
Sekarang Bantengan pun tidak saja hanya banteng, tapi bisa juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni hutan (disebut buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan), banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton saja.
Di tahun 2008 kebetulan penulis memiliki kesenian di Desa Kesimantengah Kec. Pacet yang bernama Cakra Buana Sakti. Dengan adanya kesenian ini terbukti banyak peminat dari banyaknya penjual VCD bantengan dengan omset yang cukup besar. Dan tiap tahun selalu diadakan karnaval memperingati kemerdekaan RI dan yang dinati adalan group Bantengan.
Banteng mungkin melawan harimau atau macan (masih ingat lukisan R. Saleh tentang banteng melawan harimau) simbol bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Atau banteng melawan ular naga (simbol dari angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga sendiri pasti lebih artistik dan atraktif apalagi saat melawan banteng.
Pakaiannya barangkali bisa lebih digarap lagi supaya warna hitam (tubuh banteng) yang dominan adalah warna dasar yang akan lebih hidup. Ketika “uborampe”nya digarap mulai dari topeng, tubuh banteng dengan ornamen warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng, tubuh banteng serta pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih menarik lagi (warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak perlu mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari gendang, jidor, gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi serta ritme yang diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau toh ada pembenahan bisa ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak mengurangi esensi gamelan atau musik yang berangkat dari seni silat ini, misalnya terbang atau ceng-ceng (dari Bali) karena Mojopahit dan Bali masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit gamelan yang rancak dan atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro (kebanyakan musik atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur). Akhirnya Bantengan ini menjadi sesuatu yang khas dan kemungkinan akan diminati oleh masyarakat lebih luas seperti seni-seni kitch yang lain: Reyog (Ponorogo), Glipang (Probolinggo), Remo (Surabaya), Topeng (Malang dan Madura), Jangger (Banyuwangi), Ririmau (Palembang), Ondel-ondel (Jakarta) dan Bantengan dari Mojokerto.
Makna Filosofis Seni Bantengan

Sebenarnya kota kecil Pacet kurang lebih 30 km dari kota Mojokerto ke arah selatan sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping udaranya yang sejuk dan banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang kesenian rakyat bahkan sudah mentradisi sampai sekarang. Kesenian itu sangat atraktif yang disebut Bantengan. Cabang kesenian ini sering pentas/ pagelaran menghibur masyarakat dalam kegiatan hajatan , ruwatan desa, sunatan, pernikahan terutama untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Jenis kesenian ini amat digemari masyarakat kabupaten Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada kesetiaan dan kecintaan group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya dihargai dengan nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis. “Kesenian banteng adalah bagian hidup kami”, kata Cak Amir pemimpin Bantengan asal Claket Pacet mojokrto. Sebagaimana kakek dan bapaknya dulu (Mbah Siran), Amir mulai mencintai Bantengan sejak masih anak-anak. Alasannya dia mengikuti cabang kesenian sekaligus ikut olahraga pencak silat yang banyak berkembang di surau-surau setempat. Jumlah group Bantengan yang berada di wilayah kecamatan Pacet sampai sekarang ini diperkirakan berjumlah 17 group yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Made, Barakan dan lain-lain.

A. Asal-usul

Pada awalnya Bantengan Cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencakcak silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah tontonan sendiri. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini konon bermula dari Pacet atau Claket sebagaimana diungkapkan di atas. Namun ada yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena daeradaerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni binatang banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah Siran dari desa Claket Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran terkenal sebagai pendekar penvak silat yang energik, segar, menarik dan atraktif. Semenjak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi hutan segera dibawa pulang, dibersihkan tengkoraknya saja. kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung untuk topeng Bantengan melengkapi seni pencak silat. Dari Mbah Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas “kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu dan tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik" (potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di tempat tertentu Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai hanya Bantengan saja yang dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah Cak Amir tak beda dengan kakek dan bapaknya adalah seorang pendekar dan pemimpin sekaligus.

A.Seni Bantengan dalam Konteks Olahraga
Akal yang sehat terletak pada badan yang sehat, demikian sebuah pepatah. Untuk dapat memainkan Bantengan perlu adanya pikiran yang sehat sehingga bisa mengendalikan permainan serta badan yang sehat agar gerak danlaku yang diperankan bisa sempurna. Ada dasar-dasar olahraga yang perlu dipersiapkan dalam olahraga yang perlu dipersiapkan dalam pola seni Bantengan ini antara lain : kaki yang kuat dalm kuda-kuda, kekekaran dan kesehatan tubuh, kelenturan dalam gerak langkah, serta pernafasan yang panjang. Untuk memenuhi hal itu diperlukan latihan yang rutin dalam bidang olahraga. Olahraga yang membudaya waktu itu adalah seni beladiri masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan pencak silat. Setelah diteliti olahraga ini hanya dimiliki pada budaya Jawa.

B. Seni Bantengan dalam Konteks Olah Hati
Jika kita mendalami budaya, maka banyak cara yang dilakukan oleh nenk moyang kita dalam mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara meditasi, semedi, tapa brata, yoga dan lain-lain yang intinya ingin mendapatkan kesempurnaan hidup sampai manunggaling kawula lan Gusti. Setiap manusia tentu ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Salah satu unsur kesempurnaan hidup adalah efektiknya (tulus ikhlas) permintaan kepada Tuhan. Untuk bisa efektif permintaan pada Tuhan diperlukan latihan olah rohani yang dilandasi olah nafas/ tenaga dalam. Sesungguhnya hampir semua agama mengajarkan cara ini, hanya saja metodenya yang berbeda. Dalam dunia persilatan cara ini banyak dilakukan apakah perguruan modern maupun tradisional. Untuk memerankan peran dalam kelompok seni Bantengan tentu semua ingin melakonkan atau memainkan dengan sempurna. Untuk melakukan dengan sempurna maka olah dan gerak nafas dapat dilakukan antara lain :

1.Konsentrasi memohon kepada Tuhan
2.Menarik nafas panjang dilepas pelan-pelan sambil berdoa mohon sesuai dengan yang
diinginkan.
3.Dilakukan terus-menerus sampai mendapatkan langkah dan gerak otomatis menuju kesempurnaan yang dimainkan. Dengan cara ini meskipun keanyakan orang melihat kesurupan, tetapi pada dasarnya adalah permainan untuk mengecoh pengunjung agar puas serta sebagai alat perjuangan agar tidak terjerat oleh hukum karena dianggap kesurupan (gila)

C. Seni Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat “keleman” di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga) memberikan sandingan, dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam Jumat unsur wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan (lokal, Arab) dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak menyengat. Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni peran dapat dikabulkan oleh Tuhan YME

Babad Tanah Djawi

oleh denmasdjo

Pérangan Kang Kapisan
Babad Jawa Wiwit Jaman Indhu tumekané Rusaking Karajan Majapahit
Abad 2 utawa 3 - Abad 16

01 Pérangan Kang Kapisan
Bab 1
Karajan Indhu ing Tanah Jawa Kulon (wiwit abad 2 utawa 3)

Kang wus kasumurupan, karajané bangsa Indhu ana ing Tanah Jawa, kang dhisik dhéwé, diarani karajan "Tarumanagara" (Tarum = tom. kaliné jeneng Citarum).
Karajan iku mau dhèk abad kaping 4 lan 5 wis ana, déné titi mangsaning adegé ora kawruhan.
Ratu ratuné darah Purnawarman. Mirit saka gambar gambar kembang tunjung kang ana ing watu watu patilasan, darah Purnawarman iku padha nganggo agama Wisnu.

Ing tahun 414 ana Cina aran Fa Hien, mulih saka enggoné sujarah menyang patilasané Resi Budha, ing tanah Indhu Ngarep mampir ing Tanah Jawa nganti 5 sasi.
Ing cathetané ana kang nerangaké mangkéné :
1. Ing kono akèh wong ora duwé agama (wong Sundha), sarta ora ana kang tunggal agama karo dhèwèkné: Budha.
2. Bangsa Cina ora ana, awit ora kasebut ing cathetané.
3. Barengané nunggang prahu saka Indhu wong 200, ana sing dedagangan, ana kang mung lelungan, karepé arep padha menyang Canton.

Yèn mangkono dadi dalané dedagangan saka tanah Indhu Ngarep menyang tanah Cina pancèn ngliwati Tanah Jawa.
Ing Tahun 435 malah wis ana utusané Ratu Jawa Kulon menyang tanah Cina, ngaturaké pisungsung menyang Maharaja ing tanah Cina, minangka tandhaning tetepungan sarta murih gampang lakuning dedagangan.
Karajan Tarumanagara mau ora kasumurupan pirang tahun suwéné lan kepriyé rusaké.
Wong Indhu ana ing kono ora ngowahaké adat lan panguripané wong bumi, awit pancèn ora gelem mulangi apa apa, lan wong bumi uga durung duwé akal niru kapinterané wong Indhu.
Ewa déné meksa ana kaundhakaning kawruhé, yaiku mbatik lan nyoga jarit.

Jenis Tembang Mocopat

oleh denmasdjo

Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih lengkap nya sebagai berikut,..
1. Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan kependetaan seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa jawa kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur diberiarti buntut atau ekor. Oleh karena itu Pangkur kadang-kadang diberi sasmita atau isyarat tut pungkur berarti mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti.
2. Maskumambang berasal dari kata mas dan kumambang. Mas dari kata Premas yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari kata Kambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata Ka- dan Ambang. Kambangselain berarti terapung, juga berarti Kamwang atau kembang. Ambang ada kaitannya dengan Ambangse yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, Maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti Ulam Toya yang berari ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.
3. Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang punya hajat. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara bagi anak-anak muada zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti seskaring rambut yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.
4. Asmaradana berasal dari kata Asmara dan Dhana. Asmara adalah nama dewa percintaan. Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana berkaitan denga peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi.
5. Dhangdhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dhandhanggula diberi arti ngajeng-ajeng kasaean, bermakna menanti-nanti kebaikan.
6. Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembangDurma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram.
7. Mijil berarti keluar. Selain itu , Mijil ada hubungannya dengan Wijil yang bersinonim dengan lawang atau pintu. Kata Lawang juga berarti nama sejenis tumbuh-tumbuhan yang bunganya berbau wangi. Bunga tumbuh-tumbuhan itu dalam bahasa latin disebut heritiera littoralis.
8. Kinanthi berarti bergandengan, teman, nama zat atau benda , nam bunga. Sesuai arti itu, tembang Kinanthi berwatak atau biasa digunakan dalam suasana mesra dan senang.
9. Gambuh berarti ronggeng, tahu, terbiasa, nama tetumbuhan. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana tidak ragu-ragu.
10. Pucung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan ( kuncup dedaunan ) yang biasanya tampak segar. Ucapan cung dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
11. Megatruh berasal dari awalan am, pega dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala ( membuang yang serba jelek ). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugs yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain
1. Wirangrong berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu ),. Namun dalam teks sastra, Wirangrong digunakan dalam suasana berwibawa.
2. Jurudemung berasal dari kata juru yang berarti tukang, penabuh, dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, Jurudemung diberi arti lelinggir kang landep atau sanding (pisau) yang tajam.
3. Girisa berarti arik (tenang), wedi (takut), giris (ngeri). Girisa yang berasal dari bahasa Sansekerta, Girica adalah nama dewa Siwa yang bertahta di gunung atau dewa gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, Girisa diberi arti boten sarwa wegah, bermakna tidak serba enggan, sehingga mempunyai watak selalu ingat.
4. Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.


VISI MISI PEMULA
Visi :
Terwujudnya Kampung Langsur sebagai kampung yang mampu secara mandiri untuk terus bersaing dengan kampung lain dilingkungan Kabupaten Sukoharjo khususnya dalam segi pembangunan fisik maupun pembangunan kualitas mental masyarakatnya, sehingga kampung Langsur akan mampu tetap eksis dalam segala bidang kegiatan yang diadakan dilingkungan Kabupaten Sukoharjo bahkan ketingkat yang lebih tinggi.
Misi :
1. Mempertahankan prestasi – prestasi yang telah dicapai oleh para pendahulu saya dan terus berusaha dengan keras menciptakan prestasi – prestasi baru dalam berbagai bidang.
2. Membina dan mengarahkan seluruh pengurus dan anggota PEMULA untuk selalu aktif dalam berbagai kegiatan baik didalam maupun diluar kampung, sehingga akan tercipta generasi yang cepat tanggap terhadap perubahan dan perkembangan zaman dan mampu dengan cepat dan tepat dalam menyikapi perubahan dan perkembangan tersebut.
3. Membentengi seluruh pengurus dan anggota PEMULA dengan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai control atas kemajuan yang telah dicapai oleh pengurus dan anggota PEMULA dalam penguasaan IPTEK.
4. Menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan luar kampung langsur, sehingga dengan itu akan memperluas kemudahan mengakses informasi yang dibutuhkan untuk kemajuan PEMULA khususnya dan kampung langsur umumnya.

Minggu, 30 Januari 2011

Wirid Saloka Jati

Oleh Denmasdjo


Wirit Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri kita. Sebagaimana kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu” lebih mudah dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah sanepa, saloka, kiasan, perumpamaan, dan perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi; perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji.
Serat ini menggelar arti dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta-Yang mencipta, eksistensi jiwa, sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang Mahamulia). Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon” atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit dibayangkan dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering digunakan dalam berbagai wacana falsafah Kejawen.
Gigiring Punglu; Gigiring mimis; Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita pribadi.
Tambining Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya, terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
Wekasaning Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
Wekasaning Samodra tanpa tepi; berakhirnya samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir daya jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.

Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong); maksudnya, perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun tiada.
Latu sakonang angasataken samodra; bara api setungku membuat surut air samodra. Menggambarkan keluarnya nafsu yang bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
Peksi miber angungkuli langit; burung terbang melampaui langit. Menggambarkan kekuatan akal budi kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu.
Baita amot samodra; perahu memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
Angin katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula. Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad kecil.
Susuhing angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
Bumi kapethak ing salebeting siti; bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
Mendhet latu adadamar (mengambil bara sambil membawa api); atau latu wonten salebeting latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara); menggambarkan badan kita berasal dari bara api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya hawa nafsu kita.
Barat katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang menghidupkan badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
Tirta kinum ing toya (air tertelan oleh air), atau ngangsu rembatan toya (menimba dengan air); atau toya salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air, selalu dialiri dan mengalirkan air, maksudnya darah kita.
Srengenge pinepe, atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari; artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu disinari oleh sang surya.
Wiji wonten salabeting wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di dalam biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing kawula-Gusti).
Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus sebagai “awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awal kehidupannya di dunia, sekaligus akhir dari sebuah proses triwikrama atau tiga kali menitisnya “Dewa Wisnu” menjadi manusia melewati 4 zaman; kertayuga, tirtayuga, dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal, merupakan akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati, azali abadi.
Busana kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
Sawanganing samodra retna; pemandangan intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya maras atau membuka-menutupnya mulut).
Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya yatma sampai pada ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut manusia.
Bale tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi Islam disebut arsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan sebagaimana makhlukNya saja. Dalam konteks ini, aras atau tawang gantungan adalah perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi, atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan) Zat. Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagai tawang gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci (nurullah) atau cahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkan loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak mengikuti nafsu.
Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit (perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkan panimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra.

Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil).

Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solah dan bawa. Solah adalah gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning karep (nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
Medhal katingal; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
Katingal amedhalaken; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
Menawi pejah mboten kenging risak; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni roh kita sendiri.
Menawi karisak mboten saget pejah; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungan nafsu dan rasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa sejati (kareping rahsa).
Sukalila tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara; pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat kegembiraan di alam kasampurnan. Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati hakekatnya orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau cahaya sejati.
Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula (manusia).
Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana “cangkriman” berikut ini;
“bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”
Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda dengan pepes atau pelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.
Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng. Sehingga namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namun alu di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagai bothok.
Cangkriman di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari solah dan bawa. Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.

Nulada laku utomo,
Tumrape wong tanah jawi
Wong Agung hing ngeksi ganda Panembahan Senopati
Kapati hamarsudi, sudane howo lan nepsu
Pinesu topobroto, tanapihing siang ratri
Amemangun karianak tyasing sasomo
Samangsane pasamuan,
Memangun martomartani,
Sinambi hing saben masa,kalakalaning asepi
Lelana teki teki, ngayuh geyoganing kayun,
Kayungnyun heninging tyas, sanetyasa pinrihatin
Punguh pangah cegah dahar lawan nindra
Saben nindri saking wisma
Lelono laladan sepi
Ngisep sepuhing supana,mrih prana pranaweng kapti
Titising tyas marsudi, mardawaning budi tulus
Mesu reh masudarman,neng tepining jolo nidhi
Sruning brata kataman wahyu jatmiko
(petilasaan tarekat sang Panembahan)

Wong kang ambudi daya kalawan anglakoni tapa utawa semedi kudu kanthi kapracayan kang nyukupi apa dene serenging lan kamempengan anggone nindhakake. Atine kudu santosa temenan supaya wong kang nindhakake sedyane mau ora nganti kadadeyan entek pengarep-arepe yen kagawa saka kuciwa dening kahanane badane, wong mau kudu nindakake pambudi dayane luwih saka wewangening wektu saka katamtuwaning laku kang dikantekake marang sawiji-wijining mantram lan ajaran ilmu gaib awit gede gedening kagelan iku ora kaya wong kang gagal enggone nindakake lakune rasa kuciwa kang mangkono iku nuwuhake prihatin lan getun, nganti andadekake ciliking ati lan enteking pangarep-arep. Sawise wong mau entek pangarep arepe lumrahe banjur trima bali bae marang panguripan adat sakene mung dadi wong lumrah maneh.
Kawruhana wong kang lagi miwiti ngyakinake ilmu gaib sok sok dheweke iku mesthi nemoni kagagalan kagagalan kang nuwuhake rasa kuciwa. Sawijining wewarah kang luwih becik tumrap wong kang lagi nglakoni kasutapan iya iku ati kang teguh santosa aja kesusu-susu lan aja bosenan ngemungake wong kang anduweni katetepan ati lan santosaning sedya sumedya ambanjurake ancase iya iku wong kang bakal kasembadan sedyane. Wong ngyakinake prabawa gaib iku anduweni kekarepan supaya dadi wong lanang temenan kang diendahake dening wong akeh, iya ana ing ngendi wae enggone nyugulake dirine,

UPACARA NGUPADI TUMURUNING WAHYU JODHO

(NEBUS KEMBAR MAYANG)


Adegan I : Ingkang Hamengku gati hanimbali Sang Saraya Jati, lajeng sami pangandikan, binarung Ktw. Sekartejo Sl.My

Saraya Jati :
Nuwun mangke ta Bapa ……………………. (ingkang mengku gati) handadosaken kagyating manah kulo seneng tampi dhawuh timbalan panjenengan anggenipun sakalangkung wanter. Wonten paridamel punapa dene hamiji sowan kula sumangga keparenga paring pangandika dhumateng kawula.

Hamengku gati :
Adhimas Saraya Jati, ing dalu kalenggahan punika kula katangisan anak kula estri pun Rara …………………….. ingkang ing benjing-enjing siyang/dalu badhe nambu silaning akrami, mugi antuka tumuruning Wahyu Jodho. Ingkang puniko, keparenga kawula hangresaya dhumateng panjenengan mugi kersoa angupadi tumuruning Wahyu Jodho ingkang awujud Sekar Mancawarna ugi sinebat Kembar Mayang, kinarya jangkeping panggihing calon pinangantyan kekalih. Dene menawi sampun pikantuk mugi lajeng kersoa hamboyong kaasta tumuju ing wisma pawiwahan.

Saraya Jati :
Nuwun inggih sendika ngestokaken dhawuh. Wonten ing pundi papan dunungipun Sekar Mancawarna utawi Kembar Mayang punika.

Hamengku Gati :
Miturut wasita ingkang kula tampi, papan dunungipun Sekar Manawarna punika wonten ing padhepokan …………………., kabawah wewengkon ……………………..

Saraya Jati :
Nuwun inggih, rehning sampun cetha lan trawaca dhawuh timbalan panjenengan, keparenga kawula nyuwun pamit madal pasilan bidhal dinten punika daya-daya lebda ing karya.

Hamengku Gati :
nDerekaken raharjaning lampah, mugi rahayu boten wonten pringga bayaning
marga.

Keterangan : Bidhalipun Sang Saraya Jati saking pawiwahan, binarung ungeling
Ketawang Tumadhah, laras pelog pathet nem.
Adegan II : Ing padepokan ………………., Ki Jati Wasesa anengga Kembar Mayang, sinambi maos Sekar Macapat Dandhanggula.

1. Kaki hamung nyai hamung sami
Kang sumulih nebus Kembar Mayang
Yekti minangka pepasrahan
Wiwit ing dinanipun
Kang wus dadi ndara sayekti
Kiwa tengen dinata
Kanan kirinipun
Temanten deniro lenggah
Amimbuhi ngenguwung cahya munari
Temanten sekalian

2. Kembar Mayang werdine wus muni
Kembar pada mayang iku kembang
Yekti dadi kudangane
Supaya atut runtut
Wiwit daup ngantos ing benjing
Rukun amanggih mulya
Ngantos darbe turun
Kakung putrid mung sumangga
Mrih sembada kahangkao naming kalih
Ambangun kulawarga

3. Pambanguning kulawarga yekti
Adoh angger iku perlokno
Pranyata gede gunane
Sandang pangan kecukup
Kawruh bakal mumpuni ngudi
Manggon ora suksukan
Kasarasan tuhu
Rama lan Ibu kang bakal
Gula wentah putra putrine sayekti
Hayu-hayuning bala

Sasampunipun suwuk katungka dhatengipun Sang Saraya Jati, lajeng sami
pangandikan

Saraya Jati :
Kawula nuwun Kyai, keparenga kula badhe sowan

Jati Wasesa :
Mangga ……….. mangga kisanak, lajeng pinarak mlebet kemawon, mangga ta
keparenga pinarak ing palenggahan ingkan sampun sumadya.

Saraya Jati :
Matur nuwun sanget Kyai, sak derengipun nyuwun pangapunten, dene sowan kula sakadang boten atur cecela langkung rumiyin

Wasesa Jati :
Boten dados punapa kisanak, semanten ugi kula inggih nyuwun pangapunten, mbok menawi anggen kula nampi karawuhan panjenengan sakadang kirang subasita, jalaran inggih naming kados mekaten kawontenanipun. Nuwun mangke ta kisanak, keparenga kula hanila-krami, wingking saking pundi saha sinten asma panjenengan keraya-raya rawuh ing padhepokan ngriki kisanak.

Saraya Jati :
Nuwun inggih Kyai, keparenga kula badhe nepangaken, kula sakadang wingking saking …………………… (nyebtaken panggenanipun ingkang mengku gati), name kula pun Saraya Jati. Dene wigatosipun sowan kula sakadang punika pinangka dados duta saraya saking panjenenganipun Bapa/Ibu …………………………….. (ingkang mengku gati), saperlu hangupadi tumuruning Wahyu Jodho ingkang sampun cinandhi wonten ing Kembar Mayang, pinangka kangge sarat sarana anggenipun badhe kagungan kersa ngemah-emahaken putra putrinipun sarta kangge hanjangkepi ing upacara panggihing sri temanten. Punapa pancen ing ngriki dunungipun Kembar Mayang kala wau Kyai.

Jati Wasesa :
Nuwun inggih, saderengipun kula pratela dhumateng panjenengan ingkang rumiyin kula ugi nepangaken, bilih ingkang kasdu hamestani kula pun Ki Jati Wasesa.
Dene padhepokan kula mriki winastan ………………… Pancen leren, inggih ing padhepokan ………………….. ngriki punika cumdhokipun Sekar Mancawarna ingkang sinebat Kembar Mayang. Kayu Klepu Dewandaru, Cengkir Gadhing Kedhitipitu, punapadene Sadak Lawe.

Saraya Jati :
Manggih keleresan Kyai, inggih puniko ingkang dipun kersakaken dening panjenenganipun Bapa ……………….. (ingkang mengku gati). Ingkang punika mugi wontena keparenging penggalih tumunten Kembar Mayang kaparingna dumateng kula.
Dene menawi pengaji pinten kerta ajinipun, menawi mawi leliru punapa lelirunipun, waton kula saged hamboyong Kembar Mayang punika Kyai.

Jati Wasesa :
Miturut wawangsoning jagad, boten saged dipun tumbas kanthi punapa kemawon, naming sok sintena ingkang saged anegesi naminipun Kembar Mayang kanthi jangkep saha trep, inggih punika ingkang saged hamboyong wujudipun Kembar Mayang punika.

Saraya Jati :
We lha dalah, lha kok abot sangganipun Kyai, gandeng kula sampun sumanggem dados duta ngrampungi, sanadyan kados pundi kemawon badhe kula leksanani. Nyuwun pangestu Kyai Kembar Mayang, Klepu Dewandharu, Cengkir Gadhing Kendhitpitu, Sadak Lawe. Kembar Mayang tembung Kembar punika tegesipun padha. Tembung Mayang punika tegesipun Nur utawi Cahya, wonten ingkang mestani Kembang Jambe. Kembar Mayang punika mujudaken blegering kakung lan putrid. Kakung lan putri punika satemenipun sami, dene ingkang benten wadhahipun. Dene Nur utawi Cahya kalawau lenggahipun wonten ing rasa jati, ingkang dipun westani Urip utawi gesangipun. Tiyang jejodhohan punika menawi kepingin langgeng kekalihipun kedah saged manunggalaken rasanipun. Inggih manungaling rasa jati punika ingkang saged hambabar katentreman sarta saged hanggelar pakarti luhur. Inggih punika ingkang winastan garwa utawi sigaraning nyawa winastan kembar rasane.

Kayu Klepu, Dewandharu ;
Kayu-kayun, klepu-klepeng. Dewa titah ingkang luhur. Daru darajating agesang, dados loro-lorone ngatunggal sampun sagolong gayut darajating agesang

Cengkir Gadhing Kendhipitu ;
Cengkir kencenging piker, gadhing gadhang, kendhi pitu, pangiket ingkang kiat sanget. Dados ringkesipun loro-lorone atunggal samya angiket raos katresnan.

Sadak Lawe;
Biyen sanak saiki dadi jodhone Kyai, gaduk kula naming semanten, dene leres lan lepatipun kawula sumanggaken

Jati Wasesa :
Sang Saraya Jati, sarikma pinara sasra, kula boten nyana bilih panjenengan ingkang saged anegesi kanti trep lan jangkep, mbok menawi inggih sampun dados kodrating jagad, bilih panjenengan ingkang kawawa hamboyong Kambar Mayang punika. Namung kajawi punika wonten sarat sarananipun, Sepisan, pamboyonging Kembar Mayang kaemban jejaka kalih, Kaping kalih, Cengkir gadhing sak pirantosipun kaasta Kenya Dhomas. Kaping tiga, lampahing Kembar Mayang kabiwadha gendhing Ilir-ilir Sumilir. Wondene kang wekasan, murih boten alum pradapa Sekar Mancawarna, supados dipun saranani mawi rengeng-rengeng kekidungan boten ketang satunggal kalih pada.

Saraya Jati :
Nuwun inggih Kyai, badhe kula estokaken sadaya sarat sarananipun, wondene rengeng-rengeng kekidungan sanadyan hamung sapala, sumangga keparenga midhangetaken.

Pangkur :
Yektine kang winurseta,
Kembang Kanthil lambanging ati suci,
Suci murni tresnanipun,
tansah manunggal karsa,
Sri temanten nggennya mangun brayatipun,
tulusa widodo mulya,
linambaran tresna jati.

Kinanthi :
Dhuh Gusti Ywang Maha Agung,
mugi kersa hamberkahi,
mring temanten kekalihnya,
nggennya mangun brayat sami,
bagya mulya kang sinedya,
rahayu ingkang pinanggih.
Kyai, kalih pada punika kewala atur kekidungan kula, mangka jangkeping sarana
pamboyonging Sekar Mancawarna. Kiranging sadayanipun, ingkang boten dados
renaming penggalih, mugi diagung pangaksamanipun.

Jati Wasasa :
Sang Saraya Jati, saking keprananing manah kula, wekdal punika ugi Kembar Mayang kula pasarahaken, sumangga tumunten kula aturi hanampi.

Saraya Jati :
Kyai, rehning sampun cekap samudayanipun, keparenga kawula nyuwun pamit medal pasilan, lan nyuwun pangestu mugi tansah manggiha bagya mulya salampah kula.

Jati Wasesa :
Sang Saraya Jati, sapengker panjenengan kula pranggal puja sesanti jaya-jaya wijayanti, sirna memala pinayungan sahing Gusti, hayu-hayu rahayu ingkang sami pinanggih.

Gendhing Ilir-ilir Sumilir, Sang Saraya Jati sakadang hamboyong Kembar Mayang
Adegan III : Ingkang Hamengku Gati hanampi rawuhipun Sang Saraya Jati
sakadang angasta Kembar Mayang, lajeng sami pangandikan.

Saraya Jati :
Kepareng matur dhumateng Bapa ………………………. (ingkang mengku gati), inggih awit saking berkah saha pangestu panjenengan, kula sampun kelampahan hamboyong wujudipun Kembar Mayang, ingkang punika sumangga kula aturi nampi, mugi sageda kinarya sarana dhaupipun ingkang putra.

Hamengku Jati :
Adhimas Saraya Jati, kula tampi kanthi bingahing manah, lan awit saking sih
pitulungan panjenengan, kula sakulawarga naming saged hangaturaken gunging
panuwun tanpa upami. Nuwun, matur nuwun.

Penutup : Gendhing Ayak-ayakan, laras slendro pathet manyura, para paraga
tangkep asta, lajeng bibaran.

Kamis, 27 Januari 2011

Melestarikan Budhaya Majaphait


SEJARAH KERAJAAN DI INDONESIA

KALING

Sekitar tahun 618-906 di Jawa Tengah ada kerajaan bernama Kaling/Holing. Rakyat tenteram dan hidup makmur. Sejak tahun 674 diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Simo, yang memerintah berdasarkan kejujuran mutlak, sangat keras dan masingmasing orang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak berani dilanggar. Sebagai contoh: putra mahkota pun dipotong kakinya karena menyentuh barang yang bukan miliknya di tempat umum.

MATARAM Lama (Jawa Tengah)

Di desa Canggal (barat daya Magelang) ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 732, berhuruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta. Isi utama menceritakan tentang peringatan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya, di sebuah pulau yang mulia bernama Yawadwipa yang kaya raya akan hasil bumi khususnya padi dan emas. Mendirikan lingga secara khusus adalah mendirikan kerajaan. Tempat tepatnya adalah di gunung Wukir desa Canggal. Disini diketemukan sisa-sisa sebuah candi induk dengan 3 (tiga) candi perwara di depannya. Sayangnya yang masih tersisa sangat sedikit sekali, dimana lingganya sudah tidak ada dan yang ada hanya landasannya yaitu sebuah yoni besar sekali, disamping candinya pun juga sudah tidak berwujud lagi.

Yawadwipa mula-mula diperintah oleh raja Sanna, sangat lama, bijaksana dan berbudi halus. Lalu setelah wafat digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna), raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan keprajuritan, menciptakan ketenteraman dan kemakmuran yang dapat dinikmati rakyatnya. Dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya, Sanjaya dianggap sebagai Wamsakarta dari kerajaan Mataram dan diakui betapa besarnya Sanjaya itu bagi mereka sampai abad X.

KANJURUHAN (Jawa Timur)

Di desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760, berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa Kejuron) dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760. Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).

SANJAYAWAMSA dan CAILENDRAWAMSA

Kecuali di desa Canggal, sampai pertengahan abad IX dari keturunan Sanjaya tidak ada lagi ditemukan prasasti lain, kecuali sesudah itu diketemukan prasasti-prasasti dari keluarga raja lain, yaitu Sailendrawamsa, antara lain prasasti Kalasan. Dalam prasasti Kalasan, berhuruf Pra-nagari, berbahasa Sanskerta, berangka tahun 778, disebutkan bahwa para guru sang raja berhasil membujuk maharaja Tejahpurnapana Panangkarana/Kariyana Panangkarana untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta dalam kerajaan. Selain itu terbukti bahwa antara keluarga Sanjaya dan keluarga Sailendra ada kerjasama yang erat dalam hal-hal tertentu. Candi itu bernama Kalasan, di desa Kalasan (sebelah timur Yogyakarta), yang walau di dalam candi ini saat sekarang kosong, namun melihat singgasana dan biliknya maka arca Tara dahulu bertahta disini dan besar sekali, yang diperkirakan dari perunggu.

Menurut prasasti raja Balitung berangka tahun 907, Tejahpurna Panangkarana adalah Rakai Panangkaran, pengganti Sanjaya. Kemudian dilanjutkan oleh Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalanga dan raja Balitung/Rakai Watukura dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu (yang membuat prasasti). Pada saat pemerintahan Sanjayawamsa berlangsung terus dengan daerah kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah dan beragama Hindu yang memuja Siwa, terbukti dari sifat candinya (thn 750-850 M), maka pemerintahan Sailendrawamsa juga berlangsung terus dengan daerah kekuasaan di bagian selatan Jawa Tengah dan beragama Buda aliran Mahayana yang juga terbukti dari candinya. Namun kedua wamsa ini bersatu di pertengahan abad IX, yang ditandai adanya perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani (raja putri dari keluarga sailendra). Selain candi Kalasan yang didirikan untuk memuliakan agama Buda, ditemukan juga prasasti dari Kelurak (Prambanan) yang berhuruf Pra-nagari dan berbahasa Sanskerta, yang berisi tentang pembuatan arca Manjusri (mengandung Buddha, Dharma dan Sanggha), rajanya bergelar sri Sanggramadananjaya, dengan bangunan untuk tempat arca yang diperkirakan (tidak jauh di sebelah utara Prambanan) bernama Candi Siwa.

Samaratungga adalah pengganti Indra, yang menurut prasasti Karangtengah (dekat Temanggung) dalam tahun 824 ia membuat candi Wenuwana/Ngawen di sebelah barat Muntilan. Anehnya, seperti halnya Kalasan, pemberi tanah untuk bangunan tersebut adalah seorang raja keluarga Sanjaya, yaitu Rakarayan Patapan pu Palar atau Rakai Garung. Samaratungga digantikan putrinya, Pramodawardhani (yang kemudian bergelar sri Kahulunnan) yang kawin dengan Rakai Pikatan, pengganti Rakai Garung. Uniknya, Pramodhawardhani mendirikan bangunan suci Buda (misalnya kelompok candi Plaosan, pemeliharaan Kamulan/candi Borobudur di Bhumisambhara yang diperkirakan dibangun oleh Samaratungga), sedangkan Rakai Pikatan mendirikan bangunan suci Hindu (misalnya kelompok candi Loro Jonggrang). Sedangkan Balaputra, adik dari Pramodawardhani, setelah pada tahun 856 gagal merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, ia melarikan diri ke Suwarnadwipa dan berhasil menaiki takhta Sriwijaya, dengan agamanya Budha.

SANJAYAWAMSA

Setelah berhasil menghilangkan kekuasaan keluarga Sailendra, dalam prasasti tahun 856 dikatakan bahwa Rakai sebelum turun tahta mampu menggempur Balaputra yang bertahan di bukit Ratu Boko. Penggantinya adalah Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi (tahun 856-886) dengan sebutan sri maharaja dan gelar abhiseka (penobatan raja) sri Sajjanotsawatungga (menunjukkan bahwa ia penguasa satu-satunya dan juga berdarah Sailendra). Rakai Kayuwangi menghadapi kesulitan rakyatnya, sebab selama 3/4 abad Sailendra banyak menghasilkan bangunan-bangunan suci yang megah dan mewah demi kebesaran raja, yang mengakibatkan lemahnya tenaga rakyat Mataram dan menekan hasil pertanian.

Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (tahun 886-898), lalu raja Balitung/Rakai Watukura yang bergelar sri Iswarakesawotsawatungga (tahun 898- 910), merupakan raja pertama yang memerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa Kanjuruhan-prasasti Dinoyo ditaklukkan, karena sebutan rakryan Kanuruhan adalah salah satu jabatan tinggi langsung dibawah raja.

Setelah Balitung adalah Daksa, yang sebelumnya menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I Hino (tahun 910-919), kemudian Tulodong dengan gelar sri Sajanasanmatanuragatuggadewa(tahun 919-924), selanjutnya Wawa yang bergelar sri Wijayalokanamottungga (tahun 924-929), dan kemudian seorang raja dari keluarga lain, yaitu Sindok dari Isanawamca yang mana pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur, tanpa diketahui jelas sebabnya.

ISTANA (Jawa Timur)

Panggung sejarah pindah dari Jawa tengah ke Jawa Timur tanpa sebab yang jelas, dengan rajanya Sindok (929-947). Pemerintahan berlangsung aman dan sejahtera. Sebuah kitab suci Budha (Sang Hyang Kamahayanikan) yang menguraikan ajaran dan ibadah agama Budha Tantrayana dapat dihimpun selama Sindok berkuasa, walau ia beragama Hindu. Ia memerintah bersama permaisurinya bernama Sri Parameswari Sri Wardhani pu Kbi. Anehnya, sebelum kawin dengan anak Wawa (mungkin) ia tidak menggunakan gelar raja (sri maharaja rake hino sri Icana Wikramadharmottunggadewa), tetapi menyebut dirinya rakryan sri mahamantri pu Sindok sang Srisanottunggadewawijaya (penguasa tertinggi setelah raja).

Penggantinya yang diketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga (dinamakan prasasti Calcutta, kini disimpan di Indian Museum di Calcutta), yaitu putrinya sri Icanatunggawijaya yang bersuamikan raja Lokapola. Lalu dilanjutkan oleh Makutawangsawardhana yang digambarkan sebagai matahari dalam keluarga Istana. Selanjutnya ia mempunyai anak perempuan bernama Mahendradatta atau Gunapriya dharmapatni yang bersuamikan raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali. Sri Dharmawangsa Tguh Ananta wikramattunggadewa (tahun 991-1016) adalah pengganti Makutawangsawardhana. Selain berhasil menundukkan Sriwijaya, iapun sangat besar pengaruhnya di Bali yang dapat dibuktikan dari prasasti-prasasti Bali yang semula berbahasa Bali dan sejak tahun 989 terutama sesudah tahun 1022 sebagian besar tertulis dalam bahasa Jawa Kuno.

Disamping itu pada jamannya, kitab Mahabharata disadur dalam bahasa Jawa Kuno, pun disusun sebuah kitab hukum Siwasasana pada tahun 991 . Menurut batu Calcutta, seluruh Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh raja Wurawari dan diduga bahwa yang berdiri di belakangnya sebenarnya Sriwijaya. Tapi ada yang lolos dari kehancuran, yaitu Airlangga, putra Mahendradatta raja Bali, saat ia berusia 16 tahun yang disertai Narottama bersembunyi di Wonogiri (ikut para pertapa), yang setelah dewasa kawin dengan sepupunya, anak dari Dharmawangsa.

Makutawangsawardhana dari Jawa Timur mempunyai putri (Ratu Sang Luhur Sri Gunapriyadharmapatni ) yang memerintah Bali tahun 989 bersama suaminya Sri Dharmodayana Warmadewa. Disekitar tahun 1010 Mahendradatta meninggal, sehingga Udayana memerintah sendiri sampai tahun 1022, anak sulungnya bernama Airlangga yang menggantikan Dharmawangsa memerintah di Jawa Timur dan anak bungsu bernama Anak Wungsu yang memerintah di Bali yang bernama resmi sri Dharmawangsa wardhana Marakatapangkajasthanot tunggadewa.

Di tahun 1019 Airlangga yang dinobatkan oleh para pendeta Buda, Siwa dan Brahmana, menggantikan Dharmawangsa, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Ananta wikramat tunggadewa. Ia memerintah dengan daerah hanya kecil saja karena saat kerajaan Dharmawangsa hancur, menjadi terpecahpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.

Sejak tahun 1028 Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah saat pemerintahan Dharmawangsa, yang bisa jadi juga ada hubungannya dengan kelemahan Sriwijaya yang baru saja diserang dari Colamandala (1023 dan 1030). Raja-raja yang ditaklukkan itu adalah Bhisma prabhawa (1028-1029), Wijaya dari Wengker (1030), Adhamapanuda (1031), seorang seperti raksasa raja perempuan (1032), Wurawari (1032) dan raja Wengker (1035) yang sempat muncul lagi.

Kemakmuran dan ketrentaman pemerintahan Airlangga (ia dibantu oleh Narottama/ rakryan Kanuruhan dan Niti/rakryan Kuningan) yang ibukotanya pada tahun 1031 di Wwatan Mas dipindahkan ke Kahuripan di tahun 1031, diikuti dengan suburnya seni sastra, yang antara lain: kitab Arjunawiwaha karangan mpu Kanwa tahun 1030 yang berisi cerita perkawinan Arjuna dengan para bidadari hadiah para dewa atas jerih payahnya mengalahkan para raksasa yang menyerang kayangan (kiasan hasil usaha Airlangga sendiri yang merupakan persembahan penulis kepada raja). Ini juga pertama kali keterangan wayang dijumpai, walau sebetulnya sudah ada sebelum Airlangga. Anak perempuan Airlangga yaitu Sanggramawijaya, ditetapkan sebagai mahamantri i hino (ialah berkedudukan tertinggi setelah raja), setelah tiba masanya menggantikan Airlangga, ia menolak dan memilih sebagai pertapa. Maka oleh Airlangga ia dibuatkan sebuah pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan), dan bergelar Kili Suci.

Kepergian putri mahkotanya, dari pada berebut takhta menyebabkan Airlangga membagi dua kerajaan kepada kedua anak laki-lakinya, dengan pertolongan seorang brahmana bernama mpu Bharada yang kondang sakti. Kedua kerajaan itu: Janggala (Singhasari) beribukota Kahuripan dan Panjalu (Kadiri) ber-ibukota Daha, dimana Gunung Kawi ke utara dan selatan menjadi batasnya.

Setelah membagi kerajaan, Airlangga mundur diri dan menjadi pertapa dengan nama resi Gentayu, meninggal tahun 1049, dimakamkan di Tirtha di lereng timur gunung Penanggungan dan terkenal sebagai candi Belahan. Tetapi kurang lebih setengah abad sejak Airlangga mundur dari pemerintahan, tidak ada informasi tentang dua kerajaan yang dibentuknya itu. Lalu setelah itu hanya Kadiri yang mengisi sejarah, sedangkan Janggala boleh dibilang tanpa kabar.Airlangga semasa hidupnya dianggap titisan Wisnu, dengan lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah arca indah yang disimpan di musium Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki garuda.

KERAJAAN KADIRI

Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu dengan prasasti berangka tahun 1104, menganggap sebagai titisan Wisnu seperti halnya Airlangga, adalah raja Kadiri yang muncul pertama di pentas sejarah.

Selanjutnya Kameswara (1115-1130), bergelar sri maharaja rake sirikan sri Kameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, lencana kerajaan berbentuk tengkorak bertaring yang disebut candrakapala, dan adanya mpu Dharmaja yang telah menggubah kitab Smaradahana (berisi pujian yang mengatakan raja adalah titisan dewa Kama, ibukota kerajaan bernama Dahana yang dikagumi keindahannya oleh seluruh dunia, permaisuri yang sangat cantik bernama sri Kirana dari Jenggala). Mereka dalam kesusasteraan Jawa terkenal dalam cerita Panji. Pengganti Kameswara yaitu Jayabhaya (1130-1160), bergelar sri maharaja sri Dharmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayotunggadewa, lencananya adalah Narasingha, dikekalkan namanya dalam kitab Bharatayuddha (sebuah kakawin yang digubah Mpu Sedah di tahun 1157 dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh yang juga terkenal dengan kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya).

Pengganti selanjutnya yaitu Sarwweswara (1160-1170), lalu Aryyeswara (1170- 1180) yang memakai Ganesa sebagai lencana kerajaan, kemudian Gandra yang bergelar sri maharaja sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayottunggadewanama sri Gandra. Dari prasasti dibuktikan bahwa Kadiri mempunyai armada laut.

Tahun 1190-1200 diperintah Srngga, bergelar sri maharaja sri Sarwweswara Triwikramawataranindita Crnggalancana Digwijayat tunggadewa, dengan lencana kerajaan cangkha (kerang bersayap) di atas bulan sabit.

Raja terakhir yaitu Krtajaya (1200-1222), berlencana Garudamukha, yang riwayat kerajaannya berakhir dan menyerahkan kepada Singhasari setelah kalah dalam pertempuran di Ganter melawan ken Arok. Perkembangan kesusasteraan di jaman Kediri sangat bagus, yang selain kitab-kitab tersebut diatas, beberapa hasil lainnya adalah:

kitab Lubdhaka dan Wrtasancaya karangan mpu Tanakung;
kitab Krsnayana karangan mpu Triguna;
kitab Sumanasantaka karangan mpu Monaguna.
Selain itu ada beberapa keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghoa, seperti di kitab Ling-wai-tai-ta yang disusun Chou K'u-fei di tahun 1178 dan di kitab Chu-fan-chi oleh Chau-Ju-Kua di tahun 1225, misalnya:

Orang-orangnya memakai kain sampai dibawah lutut , rambut diurai;
Rumah-rumah bersih dan rapih, lantai berubin hijau dan kuning;
Pertanian, peternakan, serta perdagangan maju dan kerajaan penuh perhatian;
Tidak ada hukuman badan, yang bersalah di denda emas;
Pencuri dan perampok yang tertangkap dibunuh;
Alat pembayaran adalah mata uang dari emas;
Orang sakit bukan makan obat tapi mohon sembuh para Dewa dan Buddha;
Raja berpakaian sutera, sepatu kulit, memakai emas-emasan, rambut disanggul.
Raja keluar naik gajah atau kereta, diiringi 500-700 prajurit dan rakyat jongkok;
Raja dibantu 4 menteri, gaji dari menerima hasil bumi/lainnya sewaktu-waktu;
Selain agama Buda ada agama Hindu;
Rakyat lekas naik darah dan suka berperang, suka mengadu babi dan ayam;
Dan lain sebagainya.

KERAJAAN SINGHASARI

Menurut cerita di kitab Pararaton dan Nagarakrtagama, raja pertama bernama sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi yang populer dipanggil Ken Arok, adalah anak seorang Brahmana bernama Gajah Para dengan Ibu bernama Ken Endok dari desa Pangkur, yang semula berprofesi sebagai pencuri/penyamun yang sangat sakti dan selalu menjadi buronan alat-alat negara. Atas bantuan seorang pendeta yang menjadikannya sebagai anak pungut, ia dapat mengabdi kepada seorang akuwu (setara bupati) yang bernama Tunggul Ametung. Namun akuwu itu kemudian dibunuhnya dan si janda, Ken Dedes dalam kondisi hamil dikawininya, yang anak itu nantinya diberi nama Anusapati.

Kemudian ia mengambil kekuasaan Tumapel dan setelah cukup pengikutnya ia melepaskan diri dari kerajaan Kadiri, yang kebetulan di Kadiri ada perselisihan antara raja dan para pendeta, lalu para pendeta itu melarikan diri yang diterima baik dan dilindungi Ken Arok.

Raja Krtajaya berusaha menindak Ken Arok, tapi dalam pertempuran di Genter pada tahun 1222 Ken Arok menang dan menjadi raja Tumapel dan Kadiri, yang ber Ibukota di Kutaraja. Dari Ken Dedes selain mempunyai anak tiri Anusapati, ia juga mempunyai anak yang diberi nama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari isteri lain, Ken Umang, ia mempunyai anak yang diberi nama Tohjaya.

Dalam tahun 1227 Ken Arok dibunuh anak tirinya, Anusapati, yang menggantikannya sebagai raja. Lalu untuk mengenang Ken Arok, dibuatkan candi di Kagenengan (sebelah selatan Singhasari) dalam bangunan suci agama Siwa dan Buda. Sedangkan Ken Dedes yang tidak diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah yang diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita.

Anusapati/Anusanatha) yang memerintah tahun 1227-1248 dengan aman dan tenteram, dibunuh oleh Tohjaya dengan suatu muslihat, dan untuk itu Anusapati dimuliakan di candi Kidal (sebelah tenggara Malang). Namun Tohjaya hanya memerintah beberapa bulan, karena aksi balas dendam dari anak Anusapati yaitu Rangga Wuni. Tohjaya melarikan diri, namun karena luka-lukanya ia meninggal dunia, dan dicandikan di Katang Lumbang.

Di tahun 1248 Rangga Wuni naik takhta dengan gelar sri Jaya Wisnu wardhana, dan raja Singhasari pertama yang namanya dikekalkan dalam prasasti, dan ia memerintah bersama sepupunya, Mahisa Campaka (anak dari Mahisa Wonga Teleng), diberi kekuasaan untuk ikut memerintah dengan pangkat Ratu Angabhaya bergelar Narasimhamurti.

Dikisahkan bahwa mereka memerintah bagai dewa Wisnu dan dewa Indra. Anak Rangga Wuni, Krtanagara, di tahun 1254 dinobatkan sebagai raja, namun ia tetap memerintah terus untuk anaknya, sampai dengan wafatnya dalam tahun 1268 di Mandaragiri, lalu dicandikan di Waleri dalam perwujudannya sebagai Siwa dan di Jayaghu (candi Jago) sebagai Buddha Amoghapasa.

Yang menarik, candi Jago berkaki tingkat tiga tersusunsemacam limas berundak-undak dan tubuh candinya terletak di bagian belakang kaki candi menunjukkan timbulnya kembali unsur-unsur Indonesia, disamping terlihat pula dari relief reliefnya dengan pahatan datar, gambar-gambar orang yang mirip wayang kulit Bali saat ini, dan para kesatriyanya diikuti punakawan (bujang pelawak).

Kertanagara, adalah raja Singhasari yang banyak diketahui riwayatnya dan paling banyak peristiwanya, dimana sang raja dibantu oleh 3 orang mahamantri (rakryan I hino, I sirikan dan I halu) dan para menteri pelaksana (rakryan apatih, demung dan kanuruhan), serta seorang dharmadhyaksa ri kasogatan yang mengurusi keagamaan (kepala agama Buda) dan seorang pendeta yang mendampingi raja, yaitu seorang mahabrahmana dengan pangkat sangkhadhara.

Karena ia bercita-cita meluaskan wilayah kekuasaan, maka ia menyingkirkan tokoh tokoh yang dianggapnya menentang/menghalangi, yaitu patihnya sendiri bernama Arema/ Raganatha dijadikan adhyaksa di Tumapel yang diganti oleh Kebo Tengah/Aragani, lalu Banak Wide yang ditugaskan menjadi Bupati Sungeneb (Madura) bergelar Arya Wiraraja.

Di tahun 1275 Krtanagara mengirim pasukan ke Sumatera Tengah yang terkenal dengan nama Pamalayu dan berlangsung sampai tahun 1292, dimana saat pasukan tiba kembali, Krtanagara sudah tidak ada lagi. Namun prasasti pada alas kaki arca Amoghapasa yang diketemukan di Sungai Langsat (hulu sungai Batanghari dekat Sijunjung), diterangkan bahwa di tahun 1286 atas perintah Maharajadhiraja Sri Krtanagara Wikrama Dharmottunggadewa, sebuah arca Amoghapasa beserta 13 arca pengikutnya dipindahkan dari bhumi Jawa ke Suwarnabhumi. Atas hadiah ini rakyat Malayu sangat senang terutama sang raja, yaitu srimat Tribuwanaraja Maulawarmmadewa.

Kertanagara dalam tahun 1284 menaklukkan Bali, Pahang, Sunda, Bakulapura (Kalimantan Barat Daya) dan Gurun (Maluku), sebagaimana diketahui dari Nagarakrtagama. Selain itu, dengan Campa diadakan persekutuan yang diperkuat dengan perkawinan, sesuai prasasti Po Sah (di Hindia belakang) yang menuliskan bahwa raja Jaya Simphawarman III mempunyai dua permaisuri yang salah satunya dari Jawa (mungkin saudara Kertanagara).

Sejak tahun 1271 di Kadiri ada raja bawahan, yaitu Jayakatwang yang bersekutu dengan Wiraraja dari Sungeneb yang selalu memata-matai Kertanagara. Belum kembalinya pasukan Singhasari dari Sumatra dan adanya insiden dengan Kubilai Khan dari Tiongkok, atas petunjuk dan nasehat Wiraraja dalam tahun 1292 Jayakatwang melancarkan serbuan ke Singhasari melalui utara untuk membuat gaduh dan dari selatan merupakan pasukan induk. Kertanagara mengira serangan hanya dari utara, maka ia mengutus Raden Wijaya (anak Lembu Ta, cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) untuk memimpin pasukan ke utara., sedangkan yang dari selatan berhasil memasuki kota dan Karaton, dimana saat itu Krtanagara sedang minum berlebihan bersama dengan mahawrddhamantri serta dengan para pendeta terkemuka dan pembesar lain, yang katanya sedang melalukan upacara Tantrayana, terbunuh semuanya, dimana Krtanagara dimuliakan di candi Jawi sebagai Siwa dan Budda di Sagala sebagai Jina/Wairocana bersama sang permaisuri Bajradewi dan di candi Singosari sebagai Bhairawa.

Memang, sebagaimana Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok yang diketemukan di Surabaya, Krtanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri. Sedangkan dalam Pararaton dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka.

KERAJAAN MAJAPAHIT

Raden Wijaya yang sedang mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan diri setelah tahu Singhasari jatuh, sedangkan Arddharaja berbalik memihak Kadiri. Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb. Atas saran dan jaminan Wiraraja, Raden Wijaya menghambakan diri ke Jayakatwang di Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang atas bantuan orangorang Madura dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.

Sementara itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan. Di sini dimanfaatkan Raden Wijaya yaitu menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok menggempur Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Tapi saat tentara Tiongkok sampai di pelabuhan untuk kembali, Raden Wijaya menyerang tentara Tiongkok sehingga banyak meninggalkan korban sambil terus kembali ke Tiongkok. Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1293-1309), mempunyai 4 (empat) isteri, dimana yang tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan yang termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.

Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan. Ia wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu Kalagemet/ Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. Untuk memuliakannya, Raden Wijaya dicandikan di candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.

Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Krtarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Krtarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.

Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukanpasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.

Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi, dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali.

Pengganti selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama BhreKahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1360).

Tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas.Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa (artinya garam dan rempah-rempah) yaitu : bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang Jawa, disebut mutih.

Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343 bersama Adityawarman (putera majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat sebagai Wrddhamantri bergelar arrya dewaraja pu Adutya), yang pernah ditaklukkan Krtanagara tapi telah bebas kembali. Lalu Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.

Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung (Minangkabau) dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun terhadap Gayatri ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu.

Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.

Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit, hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung baik. Sumpah Palapa terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan. Alkisah, hanya tinggal Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 adalah raja Pakwan Pajajaran (anak dari Rahyang Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana) yang belum dapat ditaklukkan majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. Dengan jalan tipu muslihat akhirnya di tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan bubat. Karena perang ini sangat menarik, maka secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana, seperti dibawah ini.

PERANG BUBAT (Menurut Kidung Sundayana)

Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.

Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana. Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara ada di hadapannya. Tetapi engkau hanya satu jiwanya yang senantiasa memohon pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.

Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tandatanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.

Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan "dihadiahkan" kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan "di pinang" oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung Sindanglaya ini.

Sementara di Jawa Barat telah ada :

1030 : Berdirinya kerajaan nafas hindu : Sunda dengan rajanya Sri Jayabupati.
1190 : Kerajaan Galuh dengan rajanya Ratu Pusaka
1333 : Kerajaan Pajajaran, dengan ibu kota Pakuan. Rajanya Ratu Purnama

Selain sebagai negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku. Gajah Mada meninggal tahun 1364, dan digantikan oleh 4 (empat) orang menteri yang berfungsi untuk mengekalkan negara serta lebih ditujukan kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah. Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:

Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi bengawan Solo dan Brantas;
Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);
Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih;
Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);
Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);
Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);
Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371;
Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit, dihimpun oleh mpu Prapanca di tahun 1365;
Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular;
Habisnya riwayat Sriwijaya di tahun 1377, yang dibinasakan oleh Majapahit.
Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.

Wikramawardhana (1369-1428) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berperang, yang dikenal dengan nama perang Paregreg, dimana Wirabhumi terbunuh. Disini Tiongkok mengetahui bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan Barat yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat dari Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang dan Malayu di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama Islam (1400), juga dianggap majapahit sudah hilang. Demikian daerah-daerah lainnya, dan ada juga yang masih mengaku Majapahit sebagai atasannya tetapi dalam prakteknya tidak banyak hubungan dengan pusat. Sehingga saat Wikramawardhana meninggal di tahun 1428, kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu sudah tidak ada lagi. Ada cerita menarik tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya, dari uraian Ma Huan yang asli dari Tiongkok dan beragama Islam dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat mengiringi Cheng-Ho (utusan kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga ke daerah-daerah lautan selatan, antara lain :

Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata;
Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga;
Rakyat memakai kain dan baju;
Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat dari emas, cula badak atau gading;
Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya;
Biasa memakan sirih;
Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu;
Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria;
Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas sehelai kain, lalu dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh Dalang);
Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari baratdan memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pulaberagama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggalbersama anjing mereka.

Setelah wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429 sampai sekitar 1522 tidak banyak diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau. Yang nyata, bintang Majapahit yang tadinya mempersatukan Nusantara semakin suram dan makin pudar, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang sejak sekitar tahun 1400 berpusat di Malaka disertai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit.

Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundakundak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lainlain.

Suhita digantikan oleh adik tirinya, Krtawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah dan pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti. dari kitab Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti Krtawijaya, tetapi ia berKaraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. Tiga tahun tanpa raja, lalu
dilanjutkan oleh Bre Wengker (1456-1466) bergelar Hyang Purwawisesa. Di tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi Singha wikramawardhana, berKaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun.

Dalam tahun 1468 ia terdesak oleh Krtabhumi (anak bungsu Rajasa wardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474. Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Krtabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. Demikian tentang riwayat Majapahit semakin gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa Majapahit di tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke kerajaan Islam di Demak.

Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.

Penerus Majapahit yang tetap di Majapahit (selain Purbawisesa yang beKaraton di Kahuripan) adalah Kertabumi/Brawijaya, yang memerintah di tahun 1453-1478. Tidak diketahui mengenai perjalanan kerajaannya. Namun ia mempunyai salah satu putra yang bernama raden Patah atau Jin Bun, yang diberi kedudukan sebagi Bupati Demak. Hanya saja yang menarik, ia mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, lalu masuk agama Islam, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang kepindahan agamanya. Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar 500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.

KERAJAAN DEMAK

Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak. Putra lainnya bernama Bondan Kejawan/ Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih (anak dari hasil perkawinan antara Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan) mempunyai cucu dari anaknya bernama Kyai Ageng Getas/R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo/Bagus Songgom/Risang Sutowijoyo/Syeih Abdurrahman. Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin/Sampang, mempunyai cucu buyut bernama raden Praseno yang menjadi adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, yang mana putranya yang bernama pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar cakraningrat II, sedang putra yang satunya lagi mempunyai anak yaitu Trunojoyo. Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun yang kawin dengan Pn. Dayaningrat mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo/Ki Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.

Ia akhirnya juga mampu meruntuhkan Majapahit dan sebagai raja Islam pertama bergelar Sultan Demak ia mencapai kejayaan, tapi sebagai lambang dari tetap berlangsungnya kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru, semua alat upacara dan pusaka dibawa ke Demak. Ia wafat di tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor bergelar Sultan Demak yang hanya 3 tahun memerintah karena meninggal. Lalu ia digantikan saudaranya yaitu pangeran Trenggono bergelar Sultan Demak yang memerintah sampai tahun 1548. Dalam memerintah Trenggono mampu memperluas kerajaan sampai di daerah Pase Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana seorang ulama dari Pase bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan dengan adik raja. Karena Fatahillah, maka Demak berhasil merebut tempat tempat perdagangan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum Islam, yaitu Cirebon dan Banten (akhirnya diserahkan Fatahillah oleh Demak).

Di tahun 1522 orang Portugis datang ke Sunda Kalapa (Jakarta sekarang) bekerja sama dengan raja Pajajaran menghadapi Islam, dimana Portugis diijinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa itu. Lalu di tahun 1527 orang Portugis datang kembali dimana Sunda Kalapa sudah berubah nama menjadi Jayakarta, dibawah kekuasaan Fatahillah yang tinggal di Banten, sehingga Portugis kalah perang dan meninggalkan daerah tersebut. Sedangkan Trenggono sendiri walau berhasil menaklukkan Mataram dan Singhasari, tapi daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu, yang mana di tahun 1548 ia wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak. Namun menginformasikan kerajaan Demak, kurang komplit kalau belum menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa dan keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.

Kedatangan Islam ke Jawa

Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.

Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.

Wali Sanga (9)

Mereka yang dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat menyebarkan agama Islam diberi julukan Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding kepercayaan/agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga gaib. Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan tasawwuf serta sangat kurang dalam pengajaran fiqh ataupun qalam. Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik.

Menurut kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah, Wali Sanga berganti susunan orangnya sebanyak 5 (lima) kali yaitu :

Dewan I tahun 1404 M :

Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik tahun 1419;
Maulana Ishaq, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura) ;
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Triwulan Mojokerto;
Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465;
Maulana Malik Isro'il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak di tahun 1435;
Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri tahun 1435;
Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.

Dewan II tahun 1436 M :

Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang wafat;
Sayyid Ja'far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan malik Isro'il ;
Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang wafat.

Dewan III tahun 1463 M :

Raden Paku/Syeh Maulana A'inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik;
Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia;
Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat;
Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.

Dewan IV tahun 1466 M :

Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel, menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat;
Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.

Dewan V :

Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang telah wafat;
Syeh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan.
Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat (bunuh diri atau dihukum mati).

KERAJAAN PAJANG

JokoTingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan salah seorang anak Sultan Prawoto yaitu Arya Pangiri diangkat menjadi adipati Demak. Selain itu, salah seorang yang paling berjasa dalam membinasakan Arya Penangsang yaitu Kyai Ageng Pemanahan (putra dari Kyai Ageng Anis yang mana Anis adalah putra Kyai Ageng Selo) diberi imbalan daerah Mataram (sekitar kota Gede dekat Yogyakarta) untuk ditinggali, yang juga membuat namanya lebih dikenal dengan panggilan Kyai Gede Mataram. Kyai/Ki Ageng Pemanahan dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, yang usahanya dilanjutkan oleh sang anak yaitu Sutowijoyo (terkenal sebagai ahli peperangan yang nantinya ia lebih dikenal bernana Senapati ing Alaga/panglima perang), di tahun 1575 meninggal. Sedangkan tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, yang mana pangeran Benowo seharusnya menggantikannya ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya jadi adipati di Jipang.

Arya Pangiri diserang oleh Sutowijoyo yang dibantu pangeran Benowo, yang menghasilkan Sutowijoyo memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Tapi pengangkatan dirinya sendiri menjadi raja Mataram memperoleh banyak tantangan, karena politik ekspansinya. Kecuali Blambangan yang tetap bertahan dan belum Islam sesuai cita-cita Sutowijoyo, seluruh Jawa termasuk Cirebon dikuasai. Ia yang meninggal di tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, berhasil meletakkan dasar-dasar kerajaan Mataram.

KERAJAAN MATARAM (Islam)

Penggantinya adalah putranya dari perkawinannya dengan ratu Hadi (putri pangeran Benowo) yang bernama Mas Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi pemberontakan. Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia wafat di tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang menggantikan yaitu adipati Martapura yang sakit-sakitan segera digantikan oleh saudaranya bernama raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646).

Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered. Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I. Akhirnya seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah panji-panji Mataram, yang salah satu cara untuk mengikat para adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram dengan mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah strategi penyerangan.

Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil V.O.C. (Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut menyerang.Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras di Cirebon dan Krawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap pasukan Mataram wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.

Tanpa lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya mengirim penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di Krawang menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orangorang Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagangpedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. Tapi Saat sedang konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin berkuasa di Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan yang dapat ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali. Sementara itu Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan orang-orang Portugis.

Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta'at beribadah dan menjadi contoh dalam kerajinannya dalam sholat Jum'at.

Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan tahun matahari (1 tahun = 365 hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1 tahun= 354 hari), sesuai tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah tahun Saka 1555 dan tahun Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh dirinya sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali dengan membawa para ahli agama untuk menjadi penasehat Karaton dan memperoleh gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.

Pengganti Sultan Agung adalah Mangkurat Agung/Mangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya digantikan oleh Mangkurat Amral / Mangkurat II (1677-1703), kemudian Mangkurat Mas/Mangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger/Sunan Pakoeboewono I (1708-1719), lalu Mangkurat Jawi/Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan karaton ke Surakarta (1745-1749). Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-1788), Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).

Putra dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said atau dikenal dengan julukan pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa pengecualian.

Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di pura Mangkunegaran - Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Gianti. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812 -1828).

Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat /Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram.

Sejak tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.